Kamis, 24 Februari 2011

AMBIENT CONDITION DAN ARCHITECTURAL FEATURES


Dalam hubungannya dengan lingkungan fisik Wrighstman dan Deaux (1981) membedakan dua bentuk kualitas lingkungan yang meliputi:

1.      Ambient Condition yaitu kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya,/penerangan, warna, kualitas udara, temperature, dan kelembaban.
Sebagai contoh: Pencahayaan dan warna di dalam ruangan yaitu intensitas pencahayaan dan preferensi warna merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, meski di dalam preferensi warna seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh subjektivitas.preferensi warna tersebut barangkali akan menjadi lebih baik apabila disertai dengan adanya tentang pemahaman terhadap situasi yang lebih mendalam terhadap jenis ruangan apa yang akan di rancang. Pemahaman tersebut antara lain besar kecilnya ruangan, fungsi ruangan, dan kejenuhan. Pada aspek pertama, besar kecilnya ruangan menjadi penting bagi pilihan warna dan pengaruhnya secara psikologis. Jika suatu ruangan yang dirancang ukurannya kecil maka tidak disarankan penggunaan warna-warna yang menutup baik dari segi corak maupun kecerahannya. Sebaliknya untuk ruangan yang lebih besar preferensi terhadap corak warna tidak terlalu dijadikan patokan asalkan bukan warna-warna gelap yang mengakibatkan depresi.


2.      Architectural Features yaitu yang mencakup di dalamnya adalah setting-setting yang bersifat permanen. Misalnya di dalam suatu ruangan, yang termasuk di dalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi lay out tiap lantai, desain dan perlakuan ruang dalam, estetika, dan sebagainya.
Sebagai contoh: Estetika pengetahuan yang member perhatian kepada dua hal. Pertama, identifikasi dan pengetahuan mengenai factor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari suatu objek atau suatu proses keindahan atau paling tidak suatu pengalaman yang menyenangkan. Kedua, untuk mengetahui kemampuan manusia untuk menciptakan dan untuk menikmati karya yang menunjukan estetika.




Daftar pustaka : http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html
                          http://www.anneahira.com/psikologi-lingkungan.htm
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab1-    pendahuluan.pdf

Jumat, 18 Februari 2011

Pendekatan teori dan metode psikologi lingkungan


A.  Pendekatan teori psikologi lingkungan

1.      Teori Arousal ( Arousal Theory )

Mandler (dalam Hardy dan Hayes, 1995) menjelaskan bahwa emosi terjadi pada saat sesuatu yang tidak diharapkan atau pada saat kita mendapat rintangan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Mandler menamakan teorinya sebagai teori interupsi. Interupsi pada masalah seperti dikemukakan tadi menyebabkan kebangkitan (araousal) dan menimbulkan pengalaman emosional. Suatu hal yang kita dapat petik dari teori ini adalah bahwa orang dapat memperlihatkan perubahan emosi secara ekstrim, misalnya bergembira atau bergairah pada suatu saat, dan mengalami perasaan dukacita atau amarah pada saat yang lain.
Arousal dipengaruhi oleh tingkat umum dari rangsangan yang mengelilingi kita. Kita dapat saja menjadi bosan atau tertidur, jika yang kita hadapi adalah hal-hal yang tidak ada apa-apanya. Suatu materi pelajaran yang tidak menarik dan sedikit sekali memberi manfaat pada yang mendengarkan membuat hampir semua yang mendengarkannya tidak bertahan lama mengikutinya. Menurut Mandler manusia memiliki motivasi untuk mencapai apa yang disebut sebagai dorongan keinginan otonomik. Fungsinya adalah untuk menarik munculnya arousal sehingga kita dapat berubah-ubah dari aktivitas satu ke aktivias lainnya. Hampir semua orang yang memiliki motivasi ini dalam berinteraksi sehari-hari namun ada beberapa orang yang tidak reponsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi disekelilingnya, sehingga hanya dapat dimunculkan arousalnya jika benar-benar dalam keadaan yang amat membahayakan.
Dalam psikologi lingkungan hubungan antara arousal dengan kinerja seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut: tingkat arousal yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah dan makin tinggi tingkat arousalnya akan menghasilkan kinerja yang tinggi pula (Sarwono, 1992).

2.      Teori beban stimulus (Stimulus Load Theory)

Titik sentral dari teori beban stimulus adalah adanya dugaan bahwa manusia memiliki kapasitas yang terbatas dalam memproses informasi. Ketika input (masukan) melebihi kapasitas maka orang akan cenderung untuk mengabaikan beberapa masukan dan mencurahkan perhatian lebih banyak kepada hal yang lain (Cohen dalam Veitch & Arkkelin, 1995). Teori ini bertanggung jawab terhadap respon-respon lingkungan dalam kaitannya dengan kapasitas individu dalam jangka pendek untuk memperhatikan dan bertransaksi dengan hal-hal yang menonjol dalam suatu lingkungan. Umumnya stimulus tertentu yang paling penting diperhatikan dengan alokasi waktu yang banyak dan stimulus yang kurang penting umumnya diabaikan (Sarwono, 1992; Veitch & Arkkelin, 1995). Contoh lain dikemukakan oleh Veitch & Arkkelin (1995) adalah ketika kita mengemudikan mobil dalam keadaan macet, umumnya perhatian kita lebih tertuju pada mobil, truk, bis, atau tanda lalu-lintas di sekeliling. Sementara itu kita justru tidak memperhatikan anak-anak yang duduk di jok belakang, music dari radio, atau kondisi udara yang berawan. Menurut Veitch & Arkkelin (1995) teori beban stimulus juga mempelajari pengaruh stimulus lingkungan yang menguntungkan seperti perilaku-perilaku tertentu yang terjadi di kapal selam atau penjara. Pengkajian seperti ini menyimpulkan bahwa dalam keadaan yang understimulation tertentu ternyata dapat berbalik menjadi overstimulation. Sebagai contoh suatu demam yang dialami seorang pilot pesawat terbang dapat juga dihasilkan dari kondisi yang monoton akan berakibat terjadinya inderstimulation.

3.      Teori kendala perilaku (Behavoral Constrain Theory)

Teori kendala perilaku memfokuskan kepada kenyataan atau perasaan, kesan yang terbatas dari individu oleh lingkungan. Menurut teori ini lingkungan dapat mencegah, mencampuri, atau membatasi perilaku penghuni (Stokols dalam Veitch & Arkkelin, 1995), misalnya: pada suatu hari kemacetan lalu-lintas akan mengganggu komunikasi, tata cara rumah sakit yang terlalu mengatur akan mengganggu proses penyembuhan, tingginya temperature yang berlebihan akan mencegah kerja fisik yang berlebihan, dan rendahnya suhu yang berlebihan akan mengurangi kepekaan gerakan jari-jari. Teori ini berkeyakinan bahwa dalam suatu situasi tertentu seseorang benar-benar kehilangan beberapa tingkatan kendali terhadap lingkungannya.
Brehm dan Brehm (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) menekankan bahwa ketika kita merasakan bahwa kita sedang kehilangan control atau kendali terhadap lingkungan, kita mula-mula akan merasakan tidak nyaman dan kemudian mencoba untuk menekankan lagi fungsi kendali kita. Fenomena ini lalu disebut dengan istilah reaktansi psikologis. Sarwono memberikan contoh misalnya kita sudah tau bahwa jalanan terlalu macet pada jam-jam tertentu, maka kita cenderung berusaha mencari alternative jalan lain. Jikalau pilihan alternative tidak ada, atau tingkah laku alternative lain yang dicoba untuk dilakukan ternyata juga gagal untuk mengatasinya dan apabila hal ini terjadi berulangkali maka kita akan mengalami perasaan putus asa atau tidak berdaya. Ketidakberdayaan inilah yang disebut learned helplessness.




4.      Teori tingkat adaptasi

Teori ini mirip dengan teori stimulus berlebih dimana pada tingkat tertentu suatu stimulus dapat dirimuskan untuk mengoptimalkan perilaku. Stimulus yang berlebih atau sama halnya yang terlalu kecil dianggap dapat mempengaruhi hilangnya emosi dan tingkah laku. Nilai lain dari pendekatan ini adalah araousal dimana pada akhirnya individu terbiasa denagn lingkungannya atau tingkat pengharapan individu pada kondisi lingkungan tertentu. Bahkan dengan pendekatan ini dapat diterangkan perbedaan respon yang berbeda dari dua individu ketika menghadapi lingkungan yang sama. Sebagai contoh dalam suatu pesta seseorang dapat mempersepsikannya sebagai suatu yang menyenangkan atau bagi orang lain justru merupakan sesuatu yang tidak nyaman.Perbedaan individi dalam hal tingkat adaptasi menyebabkan adanya perbedaan tingkah laku (Veitch & Arkkelin, 1995).
Menurut Sarwono (1992) terdapat tiga kategori stimulus yang dijadikan acuan dalam hubungan lingkungan dengan tingkah laku yaitu : Stimulus fisik yang merangsang indra (suara, cahaya, suhu, udara) Stimulus social dan gerakan. Dari ketiga stimulus tersebut masing-masing mengandung tiga dimensi lagi yaitu: intensitas, diversitas, dan pola dimana dari ketiga dimensi ini yang paling menyenangkan adalah yang tidak terlalu kecil/sedikit/lemah dan juga tidak terlalu besar/banyak/kuat. Dalam hal intensitas misalnya suara yang tidak terlalu keras lebih menyenangkan dari pada yang terlalu keras atau terlalu lemah. Dalam hal diversitas (variasi rangsang) terlalu banyak atau sedikitnya rangsang ternyata juga tidak menyenangkan. Dalam hal pola barangkali rangsang untuk mengukur hubungan diantara kepadatan dan perilaku interpersonal tidak selalu membuahkan hasil yang sama jika data dikumpulkan dengan metode yang berbeda.

5.      Teori stress lingkungan

Teori ini menekankan pada mediasi peran-peran fisiologis, emosi, dan kognisi dalam interaksi antara manusia denagn lingkungannya. Pada dasarnya hal ini dapat dilihat berkaitan dengan pengindraan manusia dimana suatu respons stress yang terjadi terhadap segi-segi lingkungan melebihi tingkat yang optimal. Individu lalu meresponnya denagn berbagai cara untuk mengurangi stress. Beberapa bagian dari respon terhadap stress bersifat otomatis. Pada mulanya terdapat adanya reaksi waspada (alarm reaction) terhadap stressor. Lalu diikuti dengan reaksi penolakan individu yang secara aktif mencoba melakukan coping terhadap stressor. Akhirnya jika sumber-sumber coping yang ada habis maka suatu bentuk kelelahan akan terjadi. Reaksi waspada dapat berupa peningkatan denyut jantung atau peningkatan produksi adrenalin, sementara reaksi penolakan dapat berupa tubuh menggigil kedinginan atau berkeringat kepanasan (Sarwono, 1992). Di lain pihak terdapat ahli lain yang lebih memperhatikan terutama pada masalah respon-respon terhadap stress. Lazarus (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) misalnya lebih memfokuskan kepada proses appraisal. Menurutnya seseorang dalam menilai lingkungan seharusnya dilakukan secara kognitif sebagai suatu bentuk ancaman sebelum terjadinya stress dan akhirnya mempengaruhi perilaku. Sebagai suatu bentuk coping ketika individu akan bereaksi terhadap stressor, individu harus menentukan terlebih dahulu strategi berupa menghindar, menyerang secara fisik atau verbal, atau mencari kompromi (Sarwono, 1992).

6.      Teori ekologi

Menurut Roger Barker (dalam Sarwono, 1992) tingkah laku tidak hanya ditentukan oleh lingkungan atau sebaliknya, melainkan kedua hal tersebut saling menentukan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam istilah Barker, hubungan tingkah laku dengan lingkungan adalah seperti jalan dua arah atau interpendensi ekologi. Selanjutnya Barker mempelajari hubungan timbal balik antara lingkungan denagn tingkah laku. Suatu hal  yang unik pada teori Barker adalah adanya setting perilaku yang dipandang sebagai factor tersendiri.Setting perilaku adalah pola tingkah laku kelompok yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu. Misalnya jika suatu ruangan terdapat pintu, beberapa jendela, serta dilengkapi denagn papan tulis dan meja tulis yang berhadapan dengan sejumlah bangku yang berderet, maka setting perilaku yang terjadi pada ruang tersebut adalah rangkaian dari tingkah laku murid yang sedang belajar diruang kelas. Jika ruang tersebut berisikan perabotan kantor maka orang-orang yang berada didalamnya akan berperilaku sebagaimana lazimnya karyawan kantor.

B.  Metode penelitian psikologi lingkungan

1.      Eksperimen Laboratorium

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995), jika seorang peneliti memiki perhatian terutama yang berkaitan dengan tingginya validitas internal maka eksperimen laboratorium adalah pilihan yang biasa diambil. Metode ini memberi kebebasan pada eksperimenter untuk memanipulasi secara sistematis variable yang diasumsikan menjadi penyebab dengan cara mengontrol kondisi-kondisi secara cermat yang bertujuan untuk mengurangi variable-variable yang menggangu. Selain itu yang tidak kalah pentingnya, metode eksperimen laboratorium juga mengukur pengaruh manipulasi-manipulasi tersebut. Denagn cara ini maka hasil pengumpulan data adalah benar-banar variable yang telah dimanipulasikan oleh eksperimenter. Metode ini juga pada umumnya melibatkan pemilihan subjek secara random dalam kondisi eksperimen. Walaupun penelitian laboratorium meningkatkan kepercayaan bahwa hasil pengamatan adalah manipulasi dari variable bebas, seorang peneliti masih memiliki hal yang bersifat skeptic mengenai hubungan-hubungan dalam eksperimen tersebut. Eksperimenter tidak dapat memastikan bahwa hasil-hasil penelitian yang dihasilkan dalam situasi yang amat kompleks dapat diterapkan di luar laboratorium.

2.      Studi Korelasi

Menurut Veitch & Arkkelin (1995) jika seorang peneliti ingin memastikan tingkat validitas eksternal yang tinggi maka seorang peneliti dapat menggunakan variasi-variasi dari metode korelasi. Studi-studi yang menggunakan metode ini dirancang untuk menyediakan informasi tentang hubungan-hubungan diantara hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam yang tidak dibebani oleh pengaruh pengumpulan data. Dalam studi korelasi kita pada umumnya melaporkan hal-hal yang melibatkan pengamatan alami dan teknik penelitian survai. Adalah hal yang tidak mungkin untuk menggambarkan kesimpulan yang jelas menjadi penyebab, karena studi korelasi amat lemah dalam validitas internal. Belum jelas apakah asosiasi yang terjadi dari pembatas-pembatas yang dibuat oleh peneliti sebelumnya. Untuk mudahnya maka dapat dibandingkan bahwa eksperimen laboratorium meminimalkan validitas internal untuk menggelakkan validitas eksternal, sedangkan studi korelasi meminimalkan validitas eksternal tapi seringkali validitas internalnya lemah.

3.      Eksperimen Lapangan

Menurut Veitch dan Arkkelin (1995) jika seorang peneliti ingin menyeimbangkan antara validitas internal yang dapat dicapai melalui eksperimen laboratorium denagn validitas eksternal yang dapat dicapai melalui studi korelasi maka ia boleh menggunakan metode campuran yang dikenal dengan istilah eksperimen lapangan. Dengan metode ini seorang eksperimenter secara sistematis memanipulasi beberapa factor penyebab yang diajukan dalam penelitian dengan mempertimbangkan variable eksternal dalam suatu setting tertentu. Hal-hal yang dapat dikendalikan memang hilang, akan tetapi pada saat yang sama banyak hal yang berpengaruh dalam metode lorelasi ditemukan. Oleh karena itu para peneliti menmgembangkan control terhadap variable, manjaga validitas eksternal pada tingkat tertentu, dan mencoba menemukan percobaan yang lebih realistis guna mendukung suatu penelitian yang baik. Sebagai contoh, seoarang peneliti dapat memanipulasi termperatur di dalam kereta api bawah tanah pada tingkat kepadatan penumpang tertentu untuk mengungkap kemungkinan adanya pengaruh dari variable-variable tersebut terhadap perilaku penumpang berupa memungut kertas yang secara tiba-tiba dengan sengaja yang dijatuhkan oleh eksperimenter.


Daftar pustaka :          www.elearning.gunadarma.ac.id/...psikologi_lingkungan/bab2-pendekatan_teori_dan_metode_penelitian_psikologi_lingkungan.pdf
  

Sabtu, 12 Februari 2011

konsep dari psikologi lingkungan


A.    LATAR BELAKANG SEJARAH PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Membahas perihal teori-teori yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan, maka yang terlibat adalah teori-teori, baik di dalam maupun di luar disiplin psikologi. Beberapa teori tersebut amat luas jangkauannya dan beberapa lagi yang lain lebih terfokus, beberapa amat lemah dalam data empiris dan beberapa yang lain amat kuat.
Dalam kaitan antara lingkungan dengan perilaku manusia, maka kita dapat menyebut sejumlah teori dimana dalam perspektif ini, yang terlibat di dalamnya antara lain adalah geografi, biologi ekologi, behaviorisme, dan psikologi Gestalt (Veitch & Arkkelin, 1995).
 Beberapa ahli sejarah dan geografi telah mencoba menerangkan jatuh-bangunnya peradaban yang disebabkan oleh karakteristik lingkungan. Sebagai contoh, Toynbee (dalam
Veitch & Arkkelin, 1995) mengembangkan teori bahwa lingkungan (atau secara lebih
spesifik topografi, iklim, vegetasi, ketersediaan air, dan sebagainya) adalah tantangan bagi
penduduk yang tinggal di lingkungan tersebut. Tantangan lingkungan yang ekstrim akan
merusak peradaban, sementara tantangan yang terlalu kecil akan mengakibatkan stagnasi
kebudayaan. Lebih lanjut Toynbee mengusulkan bahwa tantangan lingkungan pada tingkat
menengah juga dapat mempengaruhi perkembangan peradaban. Pada tingkat yang makin
berkurang atau sebaliknya makin berlebihan hasilnya justru akan memperlemah pengaruhnya. Gagasan mengenai tantangan lingkungan dan respon-respon perilakunya meski didasari oleh para penganut geographical determinism, ternyata seringkali merupakan bentuk-bentuk atau variasi-variasi teori yang diterapkan dalam psikologi lingkungan.
Sebagai contoh Barry, Child dan Bacon (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengusulkan
bahwa kebudayaan masyarakat pertanian (yang tidak nomaden) ternyata menekankan pola
asuh pada generasinya berupa: tanggungjawab, ketaatan, dan kepatuhan. Sebaliknya pada
kebudayaan nomaden pola asuh yang ditekankan adalah pada kemandirian dan akal.
Perbedaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada kebudayaan pertanian, orang tinggal dan bekerja bersama-sama dalam suatu komunitas yang tanpa mobilitas yang tinggi,
sehingga yang dihasilkan adalah organisasi yang teratur. Hal tersebut tentunya akan lebih
menekankan pola asuh kepada ketaatan dan kepatuhan. Lain halnya dengan orang nomaden
yang lebih menyiapkan generasi mudanya untuk terbiasa dalam menghadapi situasi alam
yang berubah dan tidak dapat diramalkan pada saat menjelajahi alam, sehingga yang lebih
dibutuhkan adalah kemandirian dan akal. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut di
atas, maka dapat dikatakan bahwa suatu setting lingkungan tertentu memberi peluang yang terbaik bagi masyarakat penghuninya untuk mempertahankan diri. Perkembangan teori-teori ekologi menunjukkan adanya perhatian terhadap adanya ketergantungan biologi dan sosiologi dalam kaitan hubungan antara manusia dengan slingkungannya, dimana hal itu secara signifikan mempengaruhi pemikiran-pemikiran psikologi lingkungan.

B.     DEFINISI PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Psikologi lingkungan adalah ilmu kejiwaan yang mempelajari perilaku manusia berdasarkan pengaruh dari lingkungan tempat tinggalnya, baik lingkungan sosial, lingkungan binaan ataupun lingkungan alam. Dalam psikologi lingkungan juga dipelajari mengenai kebudayaan dan kearifan lokal suatu tempat dalam memandang alam semesta yang memengaruhi sikap dan mental manusia. Apabila kebudayaan dan kearifan lokal kita pahami sebagai perjuangan manusia untuk mempertinggi kualitas hidupnya, maka mawas diri akan menjadi inti pokok dari pelajaran psikologi lingkungan.
Soedjatmoko, seorang ahli sosiologi, mengungkapkan harapannya untuk mengangkat mawas diri dari tingkat moralisme semata-mata ke tingkat pengertian psikologis dan historis dan mengenai perilaku manusia. Dalam hal ini beliau memberikan pengertian tentang moralisme dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh psikologis historis suatu lingkungan, tempat orang tersebut bersosialisasi dengan masyarakat binaannya.
Sementara Hardjowirogo, seorang antropolog, menulis bahwa tidak ada jaminan akan keefektifan mawas diri. Ungkapan itu telah surut menjadi sekadar penghias buah bibir. Perubahan zaman telah membawa pula fungsi mawas diri menjadi pengucapan belaka.
Sebagai contoh, tengok saja yang terjadi di zaman sekarang. Kini, banyak orang yang tinggal di dalam lingkungan baik dan religius, namun perilakunya sangat tidak mencerminkan lingkungan tempat dia tinggal. Meskipun orang tersebut sangat kenal dengan moral yang baik, belum tentu orang tersebut akan berlaku baik. Karena ternyata lingkungan sosial di zaman sekarang tidak bisa membentuk pribadi seseorang. Seseorang bisa saja tinggal dalam lingkungan pesantren yang selalu diajarkan akidah dan akhlak yang baik. Namun, sifat dasar manusia selalu penasaran dan ingin mencari kebenaran sendiri dengan mencari perbandingan sendiri.

C.     LINGKUP PSIKOLOGI LINGKUNGAN

Ruang linkup psikologi lingkungan lebih jauh membahas: rancangan (desain),organisasi dan pemaknaan,ataupun hal-hal yang lebih spesifik seperti ruang-ruang,bangunan-bangunan,ruangan-ruangan serta setting-setting lain pada lingkup yang bervariasi (Proshasky,1974). Sosiologi lingkungan yang muncul pada tahun 1970-an merupakan cabang psikologi lingkungan. Perbedaannya pada unit analisanya. Jikalau psikologi lingkungan unit analisisnya adalah manusia dan kumpulan manusia sebagai individu,maka sosiologi lingkungan unit analisisnya adalah dalam masyarakat seperti penduduk kota,pemerintah,pengnjung taman rekreasi dan sebagainya. Jenis-jenis lingkungan di dalam sosiologi lingkungan yang beberapa diantaranya juga banyak digunakan dalam psikologi lingkungan adalah :

1.      Lingkungan alamiah seperti lautan,hutan,dan sebagainya.
2.      Lingkungan buatan/binaan seperti jalan raya,perumahan,taman,rumah susun dan sebagainya.
3.      Lingkungan social
4.      Lingkungan yang dimodifikasi
            Dua jenis lingkungan yang pertama adalah istilah yang lazim digunakan dalam psikologi lingkungan. Sementara itu,Veitch dan Arkkelin (1995) sebagaimana disebut menetapkan bahwa psikologi lingkungan merupakan suatu area dari pencarian yang bercabang dari sejumlah disiplin seperti biologi, geologi,psikologi, hukum, geografi, ekonomi, sosiologi, kimia, fisika, sejarah, filsafat, beserta sub disiplin dan rekayasanya. Oleh karena itu berdasarkan ruang lingkupnya, maka psikologi lingkungan ternyata selain membahas sdetting-setting yang berhubungan dengan manusia dan perilakunya, juga melibatkan disiplin ilmu yang beragam.

D.    AMBIENT CONDITION DAN ARCHITECTURAL FEATURES

Dalam hubungannya dengan lingkungan fisik Wrighstman dan Deaux (1981) membedakan dua bentuk kualitas lingkungan yang meliputi:

1.      Ambient Condition yaitu kualitas fisik dari keadaan yang mengelilingi individu seperti sound, cahaya,/penerangan, warna, kualitas udara, temperature, dan kelembaban.
Sebagai contoh: Pencahayaan dan warna di dalam ruangan yaitu intensitas pencahayaan dan preferensi warna merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, meski di dalam preferensi warna seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh subjektivitas.preferensi warna tersebut barangkali akan menjadi lebih baik apabila disertai dengan adanya tentang pemahaman terhadap situasi yang lebih mendalam terhadap jenis ruangan apa yang akan di rancang. Pemahaman tersebut antara lain besar kecilnya ruangan, fungsi ruangan, dan kejenuhan. Pada aspek pertama, besar kecilnya ruangan menjadi penting bagi pilihan warna dan pengaruhnya secara psikologis. Jika suatu ruangan yang dirancang ukurannya kecil maka tidak disarankan penggunaan warna-warna yang menutup baik dari segi corak maupun kecerahannya. Sebaliknya untuk ruangan yang lebih besar preferensi terhadap corak warna tidak terlalu dijadikan patokan asalkan bukan warna-warna gelap yang mengakibatkan depresi.


2.      Architectural Features yaitu yang mencakup di dalamnya adalah setting-setting yang bersifat permanen. Misalnya di dalam suatu ruangan, yang termasuk di dalamnya antara lain konfigurasi dinding, lantai, atap, serta pengaturan perabot dan dekorasi. Dalam suatu gedung architectural features meliputi lay out tiap lantai, desain dan perlakuan ruang dalam, estetika, dan sebagainya.
Sebagai contoh: Estetika pengetahuan yang member perhatian kepada dua hal. Pertama, identifikasi dan pengetahuan mengenai factor-faktor yang mempengaruhi persepsi dari suatu objek atau suatu proses keindahan atau paling tidak suatu pengalaman yang menyenangkan. Kedua, untuk mengetahui kemampuan manusia untuk menciptakan dan untuk menikmati karya yang menunjukan estetika.




Daftar pustaka : http://elearning.faqih.net/2009/12/pendekatan-teori-dan-metode-penelitian.html
                          http://www.anneahira.com/psikologi-lingkungan.htm
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab1-    pendahuluan.pdf