Kamis, 31 Maret 2011

PRIVASI

Pengertian Privasi :
         Privasi adalah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka.
Pengertian interaksi menurut beberapa tokoh yaitu :
  • Rapoport    : Kemampuan untuk mengontrol interaksi memperoleh pilihan dan mencapai interaksi yang diinginkan
  • Marshall     : Pilihan untuk menghindari diri dari keterlibatan dengan orang dan lingkungan sosial.
  • Altman       : Proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri
    sendiri  dan akses kepad orang lain
  • Dibyo Hartono (1986) : Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan menyangkut keterbukaan atau ketertutupan , yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar di capai orang lain
Faktor Pengaruh Privasi
 
1.Faktor Personal
Latar belakang pribadi memiliki kaitan yang erat dengan kebutuhan akan privasi
2.Faktor Situasional
Dari beberapa penelitian dapat disimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengijinkan orang-orang didalamnya untuk menyendiri (Gifford dalam Prabowo, 1998)

3.Faktor Budaya
terdapat perbedaan pandangan mengenai privasi atau bagaimana individu mendapatkan privasinya dalam setiap budaya dimana ia berada.
 
Pengaruh Privasi terhadap Perilaku
Pengaruh privasi terhadap perilaku dipicu dari berbagai sumber :
  • Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari prilaku yang penting adalah untuk mengtur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan social
  • Maxine Walfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam khidupan sehari-hari.
  • Westin (dalam Holahan , 1982 ) bahwa ketertutupan terhadap informasi yang personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain
sumber : Prabowo, Hendro. (1998). Arsitektur,Pikologi dan masyarakat. Depok: Gunadarma 
              http://psikologilingkunganrahmawati.wordpress.com/2011/03/29/privasi/
              http://id.wikipedia.org/wiki/Privasi

Rabu, 23 Maret 2011

TERITORIALITAS

Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. Degan demikian menurut Altman (1975) penghuni tempat tersebut dapat mengontrol daerahnya atau unitnya dengan benar, atau merupakan suatu territorial primer.

Menurut Lang (1987), terdapat empat karakter dari territorialitas, yaitu :
1. Kepemilikan atau hak dari suatu tempat
2. Personalisasi atau penandaan dari suatu area tertentu
3. Hak untuk mempertahankan diri dari ganggunan luar
4. Pengatur dari beberapa fungsi, mulai dari bertemunya kebutuhan dasra psikologis sampai kepada kepuasan kognitif dan kebutuhan-kebutuhan estetika
Menurut Altman (1975), territorial bukan hanya alat untuk menciptakan privasi saja, melainkan berfungsi pula sebagai alat untuk menjaga keseimbangan hubungan social. Altman juga membagi territorialitas menjadi tiga, yaitu :
1. Territorial Primer
Jenis tritori ini dimiliki serta dipergunakan secara khusus bagi pemiliknya. Pelanggaran terhadap teritori uatam ini akan mengakibatkantimbulnya perlawanan dari pemiliknya karena menyangkut masalah serius terhadap aspek psikologis pemiliknya, yaitu dalam hal harga diri dan identitasnya.
contoh: Ruang kerja, ruang tidur

2. Territorial Sekunder
Jenis teritori ini lebih longgar pemakaiannya dan pengontrolan oleh perorangan. Territorial ini juga dapat digunakan oleh orang lain yang masih di dalam kelompok ataupun orang yang mempunyai kepentingan kepada kelompok itu. Sifat teritori sekunder adalah semi-publik.
contoh : Kantor, toilet.

3. Territorial Umum
Territorial umum dapat digunakan oleh setiap orang dengan mengikuti aturan-aturan yang lazim di dalam masyarakat dimana territorial umum itu berada. Territorial umum dapat dipergunakan secara sementara dalam jangka waktu lama maupun singkat.
contoh : Ruang kuliah, bangku di bis

Apa perbedaan ruang personal dengan teritorialitas? Seperti pendapat Sommer dan de War (1963), bahwa ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi, sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah.

Perbedaan Budaya
Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritori hal ini dilatar belakangi oleh budaya seseorang yang sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada diluar kultur budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya. Sebagai contoh seorang Eropa datang dan berkunjung ke Asia dan dia melakukan interaksi sosial di ruang publik negara yang dikunjungi, ini akan sangat berbeda sikap teritorinya.



Sumber :
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf
Dharma, Agus.Teori Arsitektur 3.Jakarta:Gunadarma,1998. 

Minggu, 20 Maret 2011

Ruang personal

Definisi Ruang personal
Istilah personal space pertama kali digunakan oleh Katz pada tahun 1973 dan bukan merupakan sesuatu yang unik dalam istilah psikologi, karena istilah ini juga dipakai dalam bidang biologi, antropologi, dan arsitektur (Yusuf, 1991).
Masalah mengenai ruang personal ini berhubungan dengan batas-batas di sekeliling seseorang. Menurut Somrner (dalam Altman, 1975) ruang personal adalah daerah di sekeliling seseorang’ dengan batas-batas yang tidak jelas dirnana seseorang tidak boleh memasukinya. Goffman (dalam Altman, 1975) menggambarkan nmng personal sebagai jarak daerah di sekitar individu dimana jika dimasuki orang lain, menyebabkan ia merasa batasnya dilanggar, merasa tidak senang, dan kadang-kadang menarik diri.
Beberapa definisi ruang personal secara implisit berdasarkan hasil-hasil penelitian, antara lain:
Pertama, ruang personal adalah batas-batas yang tidak jelas antara seseorang : dengan orang lain.
Kedua, ruang personal sesungguhnya berdekatan dengan diri sendiri. 
Ketiga, pengaturan ruang personal mempakan proses dinamis yang memungkinkan diri kita keluar darinya sebagai suatu perubahan situasi.
Keempat, ketika seseorang melanggar ruang personal orang lain, makadapat berakibat kecemasan, stres, dan bahkanperkelahian.
Kelima, ruang personal berhubungan secara langsung dengan jarak-jarak antar manusia, walaupun ada tiga orientasi dari orang lain: berhadapan, saling membelakangi, dan searah.
Menurut Edward T. Hall
Seorang antropolog, bahwa dalam interaksi sosial terdapat empat zona spasial yang disebut Zona Interaksi Sosial meliputi : jarak intim, jarak personal, jarak sosial, dan jarak publik.
1. Jarak Intim
• Jarak yang dekat/akrab atau keakraban dengan jarak 0 – 18 inci.
• Pada jarak 0 – 6 inci, kontak fisik merupakan hal yang penting.
• Jarak yang diperuntukkan pada “intimate lovers”
• Menyenangkan ketika berinteraksi dengan orang lain yang dicintai, tidcak menyenangkan dalam situasi yang lain.
2. Jarak Pribadi• Karakteristik keregangan yang biasa dipakai individu satu sama lain.
• Jarak antara 1,5 – 4 kaki
• Fase dekat (1,5 – 2,5 kaki) dan fase jauh (2,5 – 4 kaki)
• Fase dekat : masih memungkinkan pertukaran sentuhan, bau, pandangan, dan isyarat – isyarat lainnya.
• Fase jauh : jarak dimana masing – masing orang dapat saling menyentuh dengan mengulurkan tangan. Komunikasi halus (fine grain communication) masih dapat diamati.
• Transisi antara kontak intim dengan tingkah laku umum yang agak formal.
3. Jarak Sosial• Jarak 4 – 12 kaki
• Jarak yang memungkinkan terjadinya kontak social yang umum, seperti hubungan bisnis.
• Fase dekat (4 – 7 kaki)
• Fase jauh (7 – 12 kaki)
4. Zona Publik• Jarak 12 – 25 kaki
• Isyarat – isyarat komunikasi sedikit
• Situasi formal atau pembicaraan umum / orang – orang yang berstatus lebih tinggi.

CONTOH KASUS RUANG PERSONAL
BERDASARKAN BEBERAPA FAKTOR:
Faktor situasional
             Situasi keadaan ruang akan sangat mempengaruhi keberadaan ruang personal. Sebagai contoh, ketika ada wanita yang sangat hobi mendengarkan lagu-lagu bertemakan cinta, suasana yang sering ditimbulkan wanita itu adalah kesan melankolis. Atau dengan kata lain lagu-lagu cinta mengubah karakter pria itu menjadi lebih “nge-pop”. Seperti kata garin nugroho anak-anak muda kita sudah terjangkit yang namanya “virus pop”. akibatnya kalau anak “pop” lagi malas bekerja mereka akan sangat hobi mengunjungi mal-mal atau mengikuti istilah mereka “cuci mata” sebagai tempat berteduh pikiran mereka. Trend-nya mal sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda, disiasati oleh para pengembang untuk membuat lebih banyak proyek pembangunan yang sifatnya konsumtif . Sehingga efeknya adalah keberadaan RTH (ruang tanah hijau ) yang menjadi berkurang atau menghilangkan “modus kebersamaan” . terlihat bahwa situasi ruang yang menyediakan berbagai macam fasilitas dan tidak terseleksi dengan baik, akan mempengaruhi keberadaan “modus kebersamaan” ke arah yang lebih global.
 Faktor perbedaan individual
            Perbedaan antar individu akan sangat menentukan ukuran ruang personal. Misalnya norma budaya/ sub-budaya, hal ini akan sangat penting dalam menjaga diri untuk bersosialisasi dan menemukan “modus kebersamaan”. Dalam penilitian (aielloo, 1087, hayduk, 1983; remland, jones, & brinkman, 1991). Hall (1966) mengemukakan, dalam budaya dengan “kontak” indera yang tinggi, di mana individu menggunakan ciuman dan sentuhan alat indera lainnya, orang seharusnya  berinteraksi dalam jarak yang lebih dekat. Hipotesis ini didukung oleh penelitian terhadap orang hispanik, perancis, yunani, dan arab yang menjaga jarak interaksi lebih dekat daripada orang amerika. Kesan kebersamaan akan terlihat pada budaya arab yang memperlakukan tamu sebagai raja. Kedekatan yang diraih antar-sesama personal dalam tingkat global juga sangat penting dalam mengusung suara perdamaian dunia. Seperi misalnya kenapa negara timur tengah yang sudah terbiasa dengan prinsip kedekatan personal, justru tidak memilih untuk saling bergabung dengan negara lain untuk melawan penjajahan yang dilakukan israel dan amerika terhadap palestina.
            Perilaku sehari-hari personal dalam menjalankan fungsi sosial, selayaknya dapat menjadi Penataan ruang yang kita pakai untuk bersosialisasi demi mencapai “modus kebersamaan.”
 Faktor fisikal ruangan
            Pada faktor fisikal ruangan akan berkaitan dengan pemilihan bahan material untuk ruang yang kita huni. Pada majalah konstruksi edisi no.368 menjelaskan pemilihan material bangunan, masalah terbesar dari perancangan bangunan properti, adalah penggunaan bahan-bahan seperti: batako, batu, dan beton sebagai dinding bangunan. Pada siang hari, ketika terkena sinar matahari, dinding yang terbuat dari beton, akan menyerap panas dari matahari. Panas ini, selanjutnya akan dikeluarkan kembali di malam hari. Pada daerah beriklim dingin seperti eropa dan amerika, hal tersebut akan memberikan efek positif, karena akan mengurangi penggunaan pemanas ruangan. Tetapi, di negara beriklim tropis seperti indonesia, hal tersebut justru akan sangat mengganggu. Karena, pelepasan udara oleh dinding akan menyebabkan rumah terasa lebih panas dan kering, dan banyak menyerap energi dalam pemakaian mesin pendingin.
            Efek global yang terjadi adalah memicu personal untuk memilih ruang dengan menggunakan mesin pendingin. Dan kalau hal ini menjadi tren, akan sangat memperparah pemanasan global di dunia. Atau dengan kata lain menghilangkan “modus kebersamaan”.
Berkorelasi
            “modus kebersamaan” yang lebih menjunjung nilai-nilai luhur dalam manusia akan sangat terlihat dalam pemaknaan personal terhadap ruangnya. Sehingga pemaknaan “aku” dan orang lain akan menjadi kesan seperti yang digambarkan rasulullah
antara muslim dengan muslim yang lain seperti satu bangunan yang saling mengokohkan antara yang satu dengan yang lain.” (HR. Bukhori)
perumpamaan kaum mukminijn dalam cinta kasih dan menyayangi mereka seperti satu jasad, jika ada satu anggota tubuh ada yang sakit,maka seluruh tubuh akan menggigil karena demam.” ( HR. Muslim).
Korelasi antar ruang dengan ruang personal akan membuat “modus kebersamaan” menjadi lebih bermakna, Suatu proses melihat yang tidak ada keraguannya  untuk melihat suatu yang hakiki, melihat yang rahmatan lil alamin. Wallahu alam bishawab.

Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Dalam eksperimen Waston & Graves (dalam Gifford, 1987), yang mengadakan studi perbedaan budaya secara terinci, mereka menggunakan sampel kelompok siswa yang terdiri dari empat orang yang &mint:: dztang ke laboratorium. Siswa-siswa ini diberitahu bahwa mereka &an diamati, tetapi tanpa diberi petunjuk atau perintah. Kelompok pertarna terdiri dari orang-orang Arab dan kelcmpok lainnya terdiri dari orang Amerika. Rerata jarak interpersonal yang dipakai orang Arab kira-kira sepanjang dari perpanjangan tangannya. Sedangkan jarak interpersonal orang Amerika terlihat lebih jauh. Orang-orang Arab menyentuh satu sama lain lebih sering dan orientasinya lebih langsung. Umumnya orang Arab lebih dekat daripada orang Amerika.
Menurut Hall norma dan adat istiadat dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan tercermin dari penggunaan ruangnya, seperti susunan perabot, konfigurasi tempat tinggal dan orientasi yang dijaga oleh individu yang satu dengan individu yang lainnya. Hall menggambarkan bagaimana anggota dari bermacam-macam kelompok budaya tersebut memiliki kebiasaan spasial yang berbeda. Orang Jerman lebih sensitif terhadap gangguan , memilik gelembung ruang personal lebih besar , dan lebih khawatir akan pemisahan fisik ketimbang orang Amerika. Sementara itu orang Inggris merupakan orang-orang pribadi. Akan tetapi mereka mengatur jarak psikologis dengan orang lain dengan menggunakan sarana-sarana verbal dan non-verbal dibandingkan sarana fisik atau lingkungan.
Hall (dalam Altman, 1976) menggambarkan bahwa kebudayaan Arab memiliki pengindraan yang tinggi, di mana orang-orang berinteraksi dengan sangat dekat: hidung ke hidung, menghembuskan napas di muka orang lain, bersentuhan dan sebagainya. Kebudayaan Arab (juga Mediterania dan Latin) cenderung berorientasi kepada “kontak” dibandingkan dengan Eropa Utara dan Kebudayaan Barat. Jarak yang dekat dan isyarat-isyarat sentuhan, penciuman, dan panas tubuh tampaknya merupakan ha1 yang lazim dalam “budaya kontak”.
Hall (dalam Altman, 1976) juga mengamati bahwa orang-orang Jepang menggunakan ruang secara teliti. Hal diduga merupakan respon terhadat populasi yang padat. Keluarga-keluarga Jepang memiliki banyak kontak interpersonal yang dekat; seringkali tidur bersamasarna dalam suatu ruangan dengan susunan yang tidak beraturan atau melakukan berbagai aktivitas dalarn mang yang sama. Pengaturan taman, pemandangan dam, dan bengkel kerja merupakan bentuk dari kreativitas dengan tingkat perkembangan yang tinggi yang saling pengaruh-mempengaruhi di antarasemuarasa yang ada, rnenunjukkan pentingnya hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Variasi budaya dalam komunikasi nonverbal

Budaya asal seseorang amat menentukan bagaimana orang tersebut berkomunikasi secara nonverbal. Perbedaan ini dapat meliputi perbedaan budaya Barat-Timur, budaya konteks tinggi dan konteks rendah, bahasa, dsb. Contohnya, orang dari budaya Oriental cenderung menghindari kontak mata langsung, sedangkan orang Timur Tengah, India dan Amerika Serikat biasanya menganggap kontak mata penting untuk menunjukkan keterpercayaan, dan orang yang menghindari kontak mata dianggap tidak dapat dipercaya.




SUMBER:

Minggu, 13 Maret 2011

Kesesakan

A.    Pengertian Kesesakan
Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) tidaklah jelas benar, bahkan kadang – kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikian secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu ksatuan ruang.
Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding), yaitu dimana factor – factor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler (molecular crowding), yaitu perasaan sesak yang menganalisa mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal dan kesesakan molar (molar crowding), yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.
Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.
Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) mengatakan, kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
B.     Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.
1.      Faktor Personal.
Faktor personal terdiri dari :
a.       Kontrol pribadi dan locus of control
b.      Budaya, pengalaman, dan proses adaptas
c.       Faktor Sosial. Faktor sosial yang berpengaruh adalah:
1)       Kehadiran dan perilaku orang lain
2)      Formasi koalisi
3)      Kualitas hubungan
4)      Informasi yang tersedia

2.      Faktor Fisik.
Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor – faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah. Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian tunggal, kompleks perubahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks perumahan dan baru setelah rumah tunggal (unit hunian tunggal).
Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan). Faktor situasional tersebut antara lain:
a.       Besarnya skala lingkungan
b.      Variasi arsitektural
Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku Menurut Beberapa Ahli :
·         Aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain
·         Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya
·         Gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara psikologi (psychological withdrawal)
·         Menurunnya kualitas hidup (Freedman, 1973).
·         Penurunan – penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
·         Malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).
·         Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial (Holahan, 1982)
·         Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).
Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi :
1.       pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain
2.      keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih
3.      kontrol pribadi yang kurang
4.      stimulus yang berlebihan.
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk. (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.
C.    Teori-teori Kesesakan
Untuk menerangkan terjadinya kesesaka dapat dignakan tiga model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilaku, dan ekologi (Bell dkk, 1978 ; Holahan, 1982).
1.      Teori beban stimulus
Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial.
2.      Teori Ekologi
Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.
3.      Teori Kendala Perilaku
Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.


Sumber :

Jumat, 04 Maret 2011

KEPADATAN

         Disini saya akan membahas mengenai kepadatan, dimana kepadatan merupakan suatu fenomena yang sangat menarik untuk dikaji :


Apa itu kepadatan ?
Kepadatan merupakan hasil bagi jumlah objek terhadap luas daerah. Dengan demikian satuan yang digunakan adalah satuan/luas daerah, misalnya: buah/m2.
beberapa ahli mendefinisikan kepadatan sebagai berikut :
- Kepadatan menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981), yaitu sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan.
- Sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFaring, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978).
- Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992).
kategori kepadatan tebagi menjadi beberap yaitu :
Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :
- kepadatan spasial (spatial density), terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap
- kepadatan sosial (social density), terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.
Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :
- kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar;
- kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.
Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. sehingga suatu ewilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi dan kepadatan rendah.
apa yang terjadi bila kepadatan terlalu tinggi ?
Taylor (dalam Guilfford,1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal individu disuatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya.
Schorr (dalam Ittelson, 1974) mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting terhadap persepsi diri penghuninya, stress dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal disana (Ittelson, 1974).
Penelitian Valins dan Baum (dalam Heimstra dan Mc Farling,1978), menunjukan adanya hubungan yang erat antara kepadatan dengan interaksi social. Mahasiswa yang tinggal di tempat padat cenderung menghindari kontak social dengan orang lain.
Penelitian yang diadakan oleh Karlin dkk. (dalam Sears dkk., 1994) mecoba membandingkan mahasiswa yang tinggal berdua dalam satu kamar dengan mahasiswa yang tinggal bertiga dalam satu kamar (kamar dirancang untuk dua orang). Ternyata mahasiswa yang tinggal bertiga melaporakan adanya stress dan kekecewaan, yang secara nyata lebih besar daripada mahasiswa yang tinggal berdua. selain itu mereka yang tinggal bertiga juga lebih rendah prestasi belajarnya.
Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas bila dihuni dengan jumlah individu yang besar individu umumnya akan menimbulkan pengaruh negative pada penghuninya (Jain,1987). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu menjadi terhambat untuk memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut padea akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni rumah tinggal tersebut.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada didalamnya (Holahan,1982). Stressor lingkungan menurut Stokols (dalam Brigham, 1991), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stress, penyakit atau akibat-akibat negative pada perilaku masyarakat.
Menurut Heimstra dan Mc Farling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis. Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darh dan penyakit fisik lain (Heimstra dan McFarling,1978). Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti    meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling,1978; Gifford,1987).
Akibat psikis lain antara lain:
>Stress, kepadatan tinggi menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas, stress (Jain, 1987) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
>Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan,1982; Gifford,1987).
>Perilaku menolong, kepadatan tinggi menurunkan keinginan individu untuk menolong atau member bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan,1982; Fisher dkk., 1984).
>Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat tertentu (Holahan,1982)
>Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling,1978; Holahan, 1982).
Menurut Jain (1987) banyaknya unit rumah tinggal di kawasan pemukiman menyebabkan timbulnya pemukiman padat yang umumnya menyebabkan perbandingan antara luas lantai yang didiami tidak sebanding dengan banyaknya penghuni. Jarak antara rumah tinggal dengan rumah tinggal lain yang berdekatan bahkan hanya dipisahkan oleh dinding rumah atau sekat dan tidak jarang mengakibatkan penghuni dapat mendengar dan mengetahui kegiatan yang dilakukan penghuni rumah tinggal lain. Keadaan inilah yang dapat menyebabkan individu merasa sesak.
Kepadatan dan budaya
Menurut Koerte (dalam Budihardjo, 1991) faktor-faktor seperti ras, kebiasaan, adat-istiadat, pengalaman masa silam, struktur sosial, dan lain-lain, akan menentukan apakah kepadatan tertentu dapat menimbulkan perasaan sesak atau tidak.
Setiadi (1991) bahwa bangsa Amerika sudah dapat merasakan dampak negatif yang luar biasa pada kepadatan sekitar 1500 orang/Ha, dengan terjadinya banyak penyimpangan perilaku sosial, pembunuhan, perkosaan, dan tindak kriminal lainnya. sementara itu, di jepang dan Hongkong dengan kepadatn 5000 orang/Ha pada bagian kota-kota tertentu, tenyata angka kejahatan/kriminal di sana masih lebih rendah.
Sumber :
>http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab4-kepadatan_dan_kesesakan.pdf
>http://id.wikipedia.org/wiki/Kepadatan